PERBEDAAN PRASANGKA DAN DISKRIMINASI

Sikap yang negatif terhadap sesuatu, disebut prasangka. Walaupun dapat kita garis bawahi bahwa prasangka dapat juga dalam dalam pengertian positf. Tulisan ini lebih banyak membicarakan prasangka dalam dalam pengertian negatif.Tidak sedikit orang-orang yang mudah berprasangka, namun banyak juga orang-orang yang lebih sukar untuk berprasangka. Mengapa terjadi perbedaan cukup menyolok? Tampaknya kepribadian dan intelekgensia, juga faktor lingkungan cukup berkaitan dengan munculnya prasangka.

Namun demikian belum jelas benar ciri-ciri kepribadian mana yang membuat seseorang mudah berprasangka. Sementara pendapat menyebutkan bahwa orang yang berintelekgensi tinggi, lebih sukar untuk bersikap berprasangka. Mengapa? Karena orang-orang macam ini bersifat dan bersikap kritis. Tetapi fakta-fakta dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan bahwa mereka yang tergolong dalam jajaran kaum cendekiawan, juga para pemimpim dan negarawan juga bisa berprasangka. Bahkan lahirnya senjata-senjata antarbenua (Inter Continental Balistic Missile - ICBM) adalah suatu buah pransangka yang berlebihan dari para pemimpin, negarawan negara-negara adikuasa (superpower)? Bukankah pemasangan rudal-rudal jarak pendek milik Amerika Serikat di daratan Eropa Barat adalah suatu manifestasi dari prasangka Amerika Serikat terhadap rivalnya yaitu Uni Sovyet? Kondisi lingkungan/ wilayah yang tidak mapan pun cukup beralasan untuk dapat menimbulkan prasangka suatu individu atau kelompok sosial tertentu.

Dalam kondisi persaingan untuk mencapai akumulasi materiil tertentu, atau untuk meraih status sosial bagi suatu individu atau kelompok sosial tertentu, pada suatu lingkungan/wilayah di mana norma-norma dan tata hukum dalam kondisi goyah, dapat merangsang munculnya prasangka dan diskriminasi dapat dibedakan dengan jelas. Prasangka bersumber dari suatu sikap. Diskriminasi menunjuk kepada suatu tindakan. Dalam pergaulan sehari-hari sikap berprasangka dan diskriminasi seolah-olah menyatu, tidak dapat dipisahkara.

Seorang yang mempunyai prasangka rasial, biasanya bertindak diskriminasi terhadap ras yang diprasangkainya. Walaupun begitu, biasa saja seseorang bertindak diskriminatif tanpa berlatar belakang pada suatu prasangka. Demikian juga sebaliknya, seseorang yang berprasangka dapat saja berprilaku tidak diskriminatif. Di Indonesia kelompok keturunan

Cina sebagai kelompok minoritas, sering menjadi sasaran rasial, walaupun secara yuridis telah menjadi warga negara Indonesia dan dalam UUD 1945 Bab X Pasal 27 dinyatakan bahwa semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan.

Sikap berprasangka jelas tidak adil, sebab sikap yang diambil hanya berdasarkan pada pengalaman atau apa yang didengar. Lebih-lebih lagi bila sikap berprasangka itu muncul dari jalan fikiran sepintas, untuk kemudian disimpulkan dan dibuat pukul rata sebagai sifat dari seluruh anggota kelompok sosial tertentu. Apabila muncul suatu sikap berprasangka dan diskriminatif terhadap kelompok sosial lain, atau terhadap suatu suku bangsa, kelompok etnis tertentu, bisa jadi akan menimbulkan pertentangan-pertentangan sosial yang lebih luas. Suatu contoh: beberapa peristiwa yang semula menyangkut berapa orang saja, sering menjadi luas, melibatkan sejumlah orang. Akan menjadi lebih riskan lagi apabila peristiwa itu menjalar lebih luas, sehingga melibatkan orang-orang di suatu wilayah tertentu, yang diikuti dengan tidakan­tindakan kekerasan dan destruktif dengan berakibat mendatangkan kerugian yang tidak kecil.

Contoh-contoh lain: Prasangka diskriminasi ras yang berkembang di kawasan Afrika Selatan dan sekitarnya membuat kawasan ini selalu bergolak. Konflik-konflik antarsuku, antar ras tak dapat dihindarkan. Lebih jauh antara kelompok minoritas kulit putih dengan kekuasaan dan kekuatan bersenjata yang lebih tangguh, saling baku hantam dengan kelompok mayoritas orang­orang kulit hitam. Tindak kekerasan di Afrika Selatan jelas-jelas merupakan manifestasi dari pertentangan sosial yang berlarur-larut. Tinadakan kekerasan yang sudah diambang eksplosif itu, sebagai akibat dari pengendalian eksternal dari masing-masing golongan yang bertentangan begitu lemah. Grimshaw melukiskan hubungan antara prasangka, diskriminasi, ketegangan dan kekerasan sosial-terpampang dalam sebuah bagan pada halaman 43.

Prasangka yang begitu mendalam antara orang-orang Israel dengan orang­orang Arab di Timur Tengah berkembang menjadi pertentangan sosial, akhirnya meledak menjadi perang Arab-Israel, tahun 1967. Setelah perang usai permasalahannya masih berkepanjangan, dan tak kunjung selesai. Contoh yang faktual lain berkisar pada awal tahun 1985.

Orang-orang Papua Nigini sebagai tetangga terdekat Republik Indonesia di ujung Timur, pernah berprasangka bahwa warga negara Indonesia yang melintasi tapal batas Indonesia-Papua Nugini, diorganisasi oleh orang-orang Indonesia, dengan tujuan lebih jauh untuk ekspansi? Fakta dilapangan memang meyakinkan bahwa terdapat ribuan orang dari Provinsi Irian Jaya masuk ke wilayah teritorial Republik Papua Nugini.

Oleh sebab itulah orang-orang Papua Nugini boleh jadi dan cukup beralasan untuk berprasangka yang bukan-bukan. Bahkan bisa jadi ribuan pelintas batas dari Provinsi Irian Jaya itu ditafsirkan sebagai awal dari gerakan ekspansi Republik Indonesia ke wilayah teritorial Republik Papua Nugini, karena mereka telah termakan issu ekspansi Indonesia.

Berdasarkan pengusutan dan penelitian dengan seksama, jelas-jelas diketahui ada ribuan warga negara Indonesia yang melintasi tapal batas In­donesia-Papua Nugini, masuk kewilayah Papua Nugini. Akibat dari itu Pemerintah Papua Nugini cukup repot untuk memberi makan minum, obat­obatan dan harus menyediakan tempat-tempat penampungan. Pendek kata, Pemerintah Papua Nugini telah mengeluarkan biaya cukup besar.

Setelah hasil pengusutan dan hasil penelitian dipelajari dengan seksama oleh Pemerintah Indonesia, ternyata terdapat perusuh dan pembangkang terhadap Pemerintah Indonesia.

Selebihnya mereka terpaksa melintasi perbatasan karena hasutan dan ancaman dari kaum perusuh.

Kaum pembangkang/kaum perusuh itu berlindung dalam organisasi Papua Merdeka? Lewat organisasi gelap Papua Merdeka itu, dengan kesederhanaan dan keterbatasan nalarnya, mereka bermimpi dan berprasangka akan dapat membangun negara Papua Merdeka di atas negara yang syah, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Melalui perundingan demi perundingan yang dilakukan dengan niat dan sikap terbuka antara kedua pejabat Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Papua Nugini, untuk mencapai penyelesaian yang tuntas. Akhirnya masalah lintas batas Indonesia-Papua Nugini menjadi cair. Semua warga negara Indo­nesia pulang kembali ke pangkuan ibu pertiwi, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rasa curiga dan prasangka orang-orang Papua Nugini berubah dan berkembang menjadi rasa saling pengertian, rasa kebersamaan yang mendalam, dalam hidup berdampingan antar tetangga dekat.

1.1. SEBAB-SEBAB T1MBULNYA PRASANGKA DAN DISKRIMINASI

(a) Berlatar belakang sejarah.

Orang-orang kuli putih di Amerika Serikat berprasangka negatif terhadap
orang-orang Negro, berlatar belakang pada sejarah masa lampau, bahwa

orang-orang kulit putih sebagai tuan dan orang-orang Negro berstatus sebagai budak. Walaupun reputasi dan prestasi orang-orang Negro dewasa ini cukup dapat dibanggakan, terutama dalam bidang olah raga, akan tetapi prasangka terhadap orang-orang Negro sebagai biang keladi kerusuhan dan keonaran belum sirna sampai dengan generasi-generasi sekarang iM.

(b) Dilatarbelakangi oleh perkembangan sosio - kultural dan situasional.

Suatu prasangka muncul dan berkembang dari suatu individu terhadap individu lain, atau terhadap kelompok sosial tertentu manakala terjadi penurunan status atau terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh pimpinan Perusahaan terhadap karyawannya.

Pada sisi lain prasangka bisa berkembang lebih jauh, sebagai akibat adanya jurang pemisah antara kelompok orang-orang kaya dengan golongan orang-orang miskin.

Harta kekayaan orang-orang kaya baru, diprasangkai bahwa harta-harta itu didapat dari usaha-usaha yang tidak halal.

Antara lain dari usaha korupsi dan penyalahgunaan wewenang sebagai pejabat dan lain sebagainya.

(c). Bersumber dari faktor kepribadian.

Keadaan frustrasi dari beberapa orang atau kelompok sosial tertentu merupakan kondisi yang cukup untuk menimbulkan tingkah laku agresif. Para ahli beranggapan bahwa prasangka lebih dominan disebabkan tipe­tiepe kepribadian orang-orang tertentu. Tipe authoritarian personality adalah sebagai ciri keperibadian seseorang yang penuh prasangka, dengan ciri-ciri bersifat konservatif dan bersifat tertutup.

(d). Berlatar belakang dari perbedaan keyakinan, kepercayaan dan agama.

Bisa ditambah lagi dengan perbedaan pandangan politik, ekonomi dan ideologi. Prasangka yang berakar dari hal-hal tersebut di atas dapat dikatakan sebagai suatu prasangka yang bersifat universal. Beberapa diantaranya : Konflik Irlandia Utara-Irlandia Selatan, Konflik antara golonganb keturunan Yunani-Turki di Cyprus dan perang Iran-Irak berakar dari latar belakang adanya prasangka agama/kepercayaan agama. Perang Vietnam, pendudukan Afganistan oleh Uni Sovyet, konflik-konflik dilingkungan negara-negara Amerika Tengah dan Afrika lebih banyak bermotifkan ideologi, politik dan strategi politik global. Munculnva


kelompok-kelompok ekonomi, berdirinya fakta-fakta pertahanan seperti NATO atau SEATO adalah contoh-contoh jelas dan gamblang berakar dari adanya suatu prasangka dan adanya politik global dari negara-negara adikuasa.

1.2.DAYA UPAYA UNTUK MENGURANGI/MENGHILANGKAN PRASANGKA DAN DISKRIMINASL

a. Perbaikan kondisi sosial ekonomi.

Pemerataan pembangunan dan usaha peningkatan pendapatan bagi warga negara Indonesia yang masih tergolong di bawah garis kemiskinan akan mengurangi adanya kesenjangan-kesenjangan sosial anatar si kaya dan si miskin.

Melalui pelaksanaan program-program pembangunan yang mantap yang didukung oleh lembaga-lembaga ekonomi pedesaan seperti BUUD dan KUD. Juga melalui program

Kredit Candak Kulak(KCK), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), dan dalam sektor pertanian dengan program Intensifikasi Khusus(Insus), Proyek Perkebunan Inti Rakyat(PIR), Juga Proyek Tebu Rakyat diperkirakan golongan ekonomi lemah lambat laun akan dapat menikmati usaha-usaha pemerintah dalam perbaikan sektor perekonomian. Dengan begitu prasangka-prasangka ketidak adilan dalam sektor perekonomian antara kelompok kuat dan kelompok ekonomi lemah sedikit banyak dapat dikurangi dan akhirnya akan sirna. Pada sisi lain mereka yang tergolong dalam kelompok ekonomi kuat, harus selalu menyadari bahwa kesenjangan sosial yang berkepanjangan antara kelompok ekonomi kuat dengan kelompok ekonomi lemah yang mayoritas itu, akan menjadi titik rawan.

Oleh karena itu upaya pendekatan, rasa kebersamaan dan kerja sama yang saling menguntungkan antara kelompok ekonomi kuat dengan kelompok masyarakat ekonomi lemah adalah usaha yang sungguh­sungguh bijaksana. Realisasi adanya bapak angkat dalam rangka kerja sama saling menguntungkan antara pemilik modal terbatas, sedikit banyak akan memperkokoh solidaritas sosial, memperkokoh rasa kebersamaan yang lebih akrab. Melalui usaha-usaha peningkatan perekonomian yang dilaksanakan melalui program-program pemerintah dan melalui usaha kerja sama antara pemilik modal kuat dengan pemilik modal terbatas, diperhitungkan bahwa pemerrataan pembangunan dan peningkatan pendapatan perkapita akan meningkat. Sejalan dengan itu diharapkan prasangka dan kesenjangan sosial antara kelompok ekonomi kuat dan kelompok ekonomi lemah lambat laun akan lenyap.

b. Perluasan kesempatan belajar.

Adanya usaha-usaha pemerintah dalam perluasan kesempatan belajar bagi seluruh warganegara Indonesia, paling tidak dapat mengurangi prasangka bahwa program pendidikan, terutama pendidikan tinggi hanya dapat dinikmati oleh kalangan masyarakat menengah dan kalangan atas.

Mengapa ? Untuk mencapai jenjang pendidikan tertentu di perguruan tinggi memang mahal, disamping itu harus memiliki kemampuan otak dan modal. Mereka akan selalu tercecar dan tersisih dalam persaingan memperebutkan bangku sekolah. Masih beruntung bagi mereka yang memi liki kemampuan otak. Jika dapat mencapai prestasi tinggi dan dapat dipertahankan secara konsisten, beasiswa yang aneka ragam itu dapat diraih dan kantongpun tidak akan kering kerontang. Dengan memberi kesempatan luas untuk mencapai tingkat pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi bagi seluruh warga negara Indonesia tanpa kecuali, prasangka dan perasaan tidak adil pada sektor pendidikan cepat atau lambat akan hilang lenyap.

c. Sikap terbuka dan sikap lapang.

Harus selalu kita sadari bahwa berbagai tantangan yang datang dari luar ataupun yang datang dari dalam negeri, semuanya akan dapat merongrong keutuhan negara dan bangsa. Kebhinekaan masyarakat berikut sejumlah nilai yang melekat, merupakan basis empuk bagi timbulnya prasangka, diskriminasi, dan keresahan. Berbagai ideologi secara historis pernah mendapat tempat dan berkipra di republik ini, bukan mustahil akan mengambil manfaat kemajemukan kultur, sta­tus dan kelas masyarakat. Bukan mustahil kalau mereka memanfaatkan situasi berprasangka, resah, dan kemelut. Apalagi dalam suasana transisi masa satu asas, berbagai pengaruh dan kemungkinan itu tidak boleh diremehkan begitu saja. Sesungguhnya idealisme paham kebangsaan yang mencanangkan persatuan dar kemerdekaan, telah menumbuhkan sikap kesepakatan, solidaritas loyalitas yang tinggi. Dengan berbagai sikap unggul itu, diharapkan akan berkelanjutan dengan sikap saling percaya, saling menghargai, menghormati dan menjauhkan diri dari sikap berprasangka. Dilandasi dengan sikap-sikap tersebut di atas akan muncul sikap terbuka, sikap lapang, untuk menerima kritik, suatu makna dari perbedaan pendapat yang wajar dalam kemajemukan masyarakat Indonesia. Upaya menjalin komunikasi dua arah, karena masing-masing berniat membuka diri untuk berdialog antar golongan, antar kelompok sosial yang diduga berprasangka dengan tujuan membina kesatuan dan persatuan bangsa, adalah suatu cara yang sungguh bijaksana.

2. ETNOSENTRISME

Setiap suku bangsa atau ras tertentu akan memiliki ciri khas kebudayaan, yang sekaligus menjadi kebanggaan mereka. Suku bangsa, ras tersebut dalam kehidupan sehari-hari bertingkah laku sejalan dengan norma-norma, nilai­nilai yang terkandung dan tersirat dalam kebudayaan tersebut.

Suku bangsa, ras tersebut cenderung menganggap kebudayaan mereka sebagai salah ssesuatu yang prima, riil, logis, sesuai dengan kodrat alam dan sebaginya. Segala yang berbeda dengan kebudayaan yang mereka miliki, dipandang sebagai sesuatu yang kurang baik, kurang estetis, bertentangan dengan kodrat alam dan sebagainya. Hal-hal tersebut di atas dikenal sebagai ETNOSENTRISME, yaitu suatu kecendrungan yang menganggap nilai-nilai dan norma-norma kebudayaannya sendiri sebagai suatu yang prima, terbaik, mutlak, dan dipergunakannya sebagai tolak ukur untuk menilai dan membedakannya dengan kebudayaan lain.

Etnosentrisme nampaknya merupakan gejala sosial yang universal, dan sikap yang demikian biasanya dilakukan secara tidak sadar. Dengan demikian etnosentrisme merupakan kecendrungan tak sadar untuk menginterpretasikan atau menilai kelompok lain dengan tolak ukur kebudayaannya sendiri. Sikap etnosentrisme dalam tingkah laku berkomunikasi nampak canggung, tidak luwes. Akibatnya etnosentrisme penampilan yang etnosentrik, dapat menjadi penyebab utama kesalah pahaman dalam berkomunikasi. Etnosentrisme dapat dianggap sebagai sikap dasar ideologi Chauvinisme pernah dianut oleh orang­orang Jerman pada zaman Nazi Hitler. Mereka merasa dirinya superior, lebih unggul dari bangsa-bangsa lain, dan memandang bangsa-bangsa lain sebagai inferior, lebih rendah, nista dsb.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

0 komentar:

Posting Komentar